Mukhtar Mai masih mengingat jelas apa yang menimpanya tahun 2002 lalu. Atas perintah pengadilan suku, dia diperkosa beramai-ramai. Ini sebagai bentuk "pembalasan" atas perbuatan saudaranya, berusia 12 tahun, yang melakukan hubungan tidak sepantasnya dengan seorang wanita dari suku lain.
"Mereka memutuskan aku harus dihukum atas perbuatan yang dilakukan saudaraku," kata Mai, kini 39 tahun kepada CNN (19/2/2013). "Mereka menyeretku. Saat itu adalah saat terberat dalam hidupku."
Akibat perbuatan bidabab itu, fisik dan hati Mai luar biasa terluka. Trauma, marah, sedih bercampur jadi satu. Sementara mayoritas korban pemerkosaan di Pakistan memilih diam, atau bahkan bunuh diri, Mai memutuskan melawan para pemerkosanya, memperjuangkan keadilan bagi dirinya.
"Saya merasa harus memperjuangkan hak-hak saya," kata Mai. "Pertama, karena saya menjadi korban pemerkosaan, yang kedua karena saat saya menghubungi polisi, para pelaku mengancam akan membunuhku," kata dia.
Mai menceritakan, saat itu ia luar biasa bingung, apa yang harus dilakukannya. Namun, atas dorongan warga yang mendukungnya, ia memberanikan diri. "Saat itu aku memutuskan, apa yang terjadi padaku tak boleh terjadi pada orang lain!"
Pengadilan memutuskan, enam pelaku pemerkosaan Mai dihukum mati atas tuduhan pemerkosaan dan bersekongkol melakukan pemerkosaan. Namun, pada 2011, Mahkamah Agung Pakistan membatalkan hukuman tersebut, kecuali untuk satu orang.
Mendirikan Sekolah
Mai lahir dan tumbuh besar di desa kecil di wilayah Punjab, Pakistan. Ia tak pernah bersekolah dan dipaksa menikah di usia 13 tahun.
Hanya beberapa tahun menjalani pernikahan, ia bercerai dan kembali ke rumah orang tuanya. "Aku mulai hidup mandiri, mencari uang dengan cara menjahit dan menjadi pembantu rumah tangga, pekerjaan yang menghasilkan sedikit uang."
Selama 10 sampai 12 tahun bekerja, Mai akhirnya berhasil mengumpulkan uang untuk membeli ternak. Namun, di usia 28 tahun kehidupannya berubah drastis akibat insiden pemerkosaan biadab itu.
Namun, alih-alih menghancurkannya, ia justru menjelma menjadi manusia tegar. Satu dekade berselang, Mai adalah pejuang hak-hak perempuan di Pakistan. Menginspirasi perempuan di negerinya, juga seluruh dunia.
Sadar bahwa pendidikan jadi kunci utama perubahan nasib perempuan, Mai membuat sekolah sederhana, di salah satu ruangan rumahnya. Hanya ada satu guru dan tiga murid, termasuk dirinya. "Pertama kali saya bersekolah justru di sekolah yang saya dirikan sendiri," kata dia.
Tiga tahun pertama, Mai menjalankan sekolah mandirinya, tanpa bantuan pihak luar. "Apapun penghasilan yang kudapat, aku gunakan untuk membayar guru. Terkadang aku bahkan harus menjual barang-barang milikku."
Sekolah Mai mendapat perhatian dunia saat kisah dan perjuangannya diangkat artikel media internasional pada 2005. Bantuan pun berdatangan, termasuk dari pihak pemerintah.
Saat ini sekolah sekolah putri yang didirikan Mai menyediakan pendidikan, buku, seragam, dari sekolah dasar sampai SMA untuk 550 anak perempuan. Gratis!
Namun, Mai mengaku, sekolahnya tidak menerima dana pemerintah selama tiga tahun terakhir dan sedang berjuang untuk mendapatkan dana.
Mai juga mendirikan rumah penampungan dan pusat sumber daya untuk perempuan korban kekerasan. Sementara memoarnya, "In the Name of Honor", atau "Atas Nama Kehormatan" telah dipublikasikan pada 2006 dan diterjemahkan dalam 26 bahasa.
Pada 2009 lalu, Mai juga menikahi polisi yang bertindak sebagai pengawalnya. Kini mereka punya satu anak.
Tragedi tak selamanya berakhir tragis. Seperti halnya yang terjadi pada Mai dan aktivis muda Pakistan, Malala Yousafzai, yang ditembak Taliban. "Lebih banyak anak perempuan di daerahnya yang mendapat pendidikan, karena Malala," kata Mai, yang terus berdoa bagi kesehatan Malala.
Mai berharap, apa yang dilakukannya, juga Malala bermanfaat bagi perempuan Pakistan. "Ini adalah proses evolusi yang makan waktu. Saya harap saya telah memberikan keberanian untuk anak perempuan dan perempuan untuk berbicara tentang hak-hak perempuan dan membuka cakrawala baru."
Atas perjuangannya mengubah tragedi mengerikan menjadi kekuatan besar untuk bangkit, Mai didaulat menjadi pembicara utama dalam KTT tentang HAM dan Demokrasi di Jenewa, 19 Februari 2013. Luar biasa! (Ein)